Berawal
dari kagum kemudian menjadi hobi akhirnya Yon Haryono tekun mengembangkan
latihan olahraga angkat bersi di Kota Metro.
Pukul tujuh malam, Yon Haryono (43) kaget. Terdengar suara ketuk pintu memangil namanya.
“Tok... Tok... Tok... Assalamualaikum, mas”.
“Loh... Rio... Kok udah pulang?”.
“Iya, mas, saya dipulangin”.
“Pulang sama siapa?”.
“Sendirian, mas”....
Yon marah. Kesal. Rio Setiawan (24) anak
didikannya pulang sendirian. Ia dipulangkan dari Parung Panjang, Bogor karena
menderita cidera pada kedua lututnya. Engselnya lepas saat berlatih. “Saat itu emang saya kurang pemanasan jadi ototnya
kurang siap,” jelas Rio. Sudah enam bulan Ia dirawat. Terapi beberapa kali tapi
tak kunjung membaik.
Terpaksa Joni Firdaus, pelatihnya memulangkannya
ke Tejosari, Metro (2003). Joni Firdaus adalah pelatih yang membawa Rio ke Parung
Panjang pada tahun 2002 akhir. Bukan hanya Rio yang ia bawa, dianatanya ialah Eko
Yuli Irawan, Tri Yatno, Edi Kurniawan, Didi Aprianto, Titin Lestari, Yuli Rahma
Wati. Yon sengaja membiarkannya supaya mereka mendapat pelatihan yang lebih
baik.
Rio dan teman-teman yang lain mendapat trainning center untuk atlet angkat besi
yang berprestasi. Ia disekolahkan dan memperoleh gratis seluruh tanggungan
hidupnya disana. Pada saat itu Pengurus Cabang Persatuan Angkat Besi Berat dan
Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Kalimantan Selatan yang membiayai mereka.
“Solusinya ga
tepat,”kata Yon. Ia merasa dibohongi. Baru tiga hari ia pulang dari Parung
Panjang menanyakan ke adaan Rio. “Apa Rio saya bawa dulu ke Lampung untuk
dirawat?” katanya. Tapi salah satu pelatih menyangkal agar Rio tetap disini
(Parung Panjang).
Akhirnya berapa hari setelah kedatangan Rio.
Ia kembali menanyakan kepulangan Rio dengan sendirian balik ke Tejosari. Ia
meluncur ke Parung Panjang. Yon selalu bertanya-tanya kenapa mereka tidak
koordinasi atau menghubungi dia terlebih dahulu. “Main pulang-pulangin aja, enak
aja, enngak ada tanggung jawabnya,”terang Yon. “Seharusnya salah satu dari
mereka mengantarkan Rio sampai ke Tejosari,” tambahnya. Sesampai Yon di Parung
Panjang, mereka mendiskusikan masalah Rio. Namun ternyata pihak pelatih tak
mampu merawat Rio.
Rio saat itu masih berumur dua belas tahun. Dari
Parung Panjang, Ia diantar salah satu pelatih sampai Pelabuhan Merak dan
seterusnya ia dinaikan kebus jurusan Lampung. “Pikiran saya saat itu, apa saya bisa sampai rumah,” ujar Rio
mengenang nasibnya.
Sejak itulah Yon bertekat mengajak Rio untuk
mengembangkan olahraga angkat besi di Tejosari, Metro. Ia mulai berusaha supaya
tidak ada campur tangan lagi dengan daerah-daerah lain selain Lampung. “Saya enggak ingin bantu daerah lain,” kesal
Yon dengan keadaan anak didiknya itu. Yon selalu memberi semangat dan motivasi
kepada Rio. “Enngak usah menyerah,
kalo belum ada hasil jangan menyerah,” tutur Rio menirukan nasihat pelatihnya
itu.
Dari kejadiaan itulah Yon bertekat mendirikan
sasana barunya di Tejosari--sebelumnya 2000-2001 sasana latihan mereka
bertempat di Tejo Agung 24, Metro Timur--bersama dengan Rio. “Kalo kamu enngak bisa jadi atlet angkat besi, berarti
kamu harus jadi pelatih,” Yon menyemangati Rio.
Yon berusaha mencari dana buat membangun
sasana. Akhirnya kerja kerasnya tak sia-sia. Masyarakat Tejosari mendukung bila
didirikan sasana latihan angkat besi. Masyarakat pun bergotong royong membangun
sasana latihan. Tak sedikit bahan bangunan didapat dari bantuan warga, begitu
pula uang kantong pribadi Yon pun ia relakan.
Namun sasana yang dimiliki jauh dari sempurna.
Kebanyakan orang menyebutnya mirip kandang kambing. Ukuranya empat kali delapan,
berdidinding papan, beratap seng. dan berlanataikan semen. Tanahnya pun masih
numpang. Dengan peralatan yang seadanya, anak-anak Tejosari mulai berdatangan
ikut latihan angkat besi. muridnya anak-anak sekolah dasar sampai anak sekolah
menengah atas. Latihannya tiap pagi dan sore hari. Pagi bada subuh sampai pukul
06:30. Dan sore harinya bada asar sampai pukul 17:30.
Peralatan lama tahun 2001 lalu hasil pemberian
teman lama, Joko Buntoro (Alm). Joko berikan peralatan besi bekas dari
Banyumas, Jawa Tengah. Dulu Joko pelatih angkat besi disana. Dua set barbel
bekas dengan kondisi sudah empat puluh persen. Dan empat set barbel dari Ketua
Pengurus Daerah PABBSI Banjar Masin, Kalimanatan Selatan, Karli Hanapi (60).
Yon tak pernah meminta sepeser pun dari
anak-anak didiknya uang. Yon berusaha mencari uang dan bantuan dalam pemenuhan
gizi anak didikannya. Karena olahraga angkat besi salah satu yang paling pokok
adalah kondisi stamina yang sempurna. “pemenuhan empat sehat lima sempurna
sangat penting,” ujarnya.
***
Yon Haryono, pria kelahiran Pringsewu, 16
Februari 1969 ini mulai tertarik dengan olahraga angkat besi karena kagum
melihat Joko Buntoro (Alm). Joko pada saat itu habis pulang dari pemusatan
latihan nasional (pelatnas) angkat besi di Jakarta dengan mengenakan jaket yang
bertuliskan Indonesia. Joko sepuluh tahun lebih tua dari Yon. “Dulu kalo ada
stiker tulisan Indonesia atau KONI dijaket atau dibaju, orang-orang udah salut lihatnya. Lain kalo sekarang
siapa saja bisa bikin,” ujar ia menjelaskan ketertarikannya pada saat bertemu
Joko.
Sejak duduk dibangku kelas lima SD X
Pringsewu, Mantan lifter (sebutan atlet angkat besi) ini bergabung dengan
sasana angkat besi Gajah Lampung. Ia mulai bercita-cita tinggi. Ia ingin terkenal
dan memakai jaket seperti Joko yang bertuliskan Indonesia.
Gajah Lampung merupakan padepokan olahraga
angkat besi terkenal di Lampung. Padepokan yang dikelola oleh Imron Rosyadi
(ketua pelatihan pengurus daerah provinsi lampung), didirikan pada 1960-an. Padepokan
ini pun memiliki asrama bagi lifter-lifternya.
Berkat gemblengan Imron selama kurang lebih
satu tahun, Yon untuk pertama kalinya mengikuti Kejuaraan Nasional (Kejurnas)
Remaja Junior se-Indonesia pada Desember 1982 di Jogjakarta meraih medali perak.
Juni 1983, Yon kemudian mendapatkan beasiswa
enam tahun. Ia masuk sekolah para atlet, SMP Ragunan di Jakarta. Tak lama,
Desember 1983, Ia pun mengikuti Kejuarnas di Jakarta memperoleh tiga medali
emas untuk kategori angkatan snatch, clean & jerk, dan total.
Berkat kerja keras dan kesungguhannya, Yon
mulai menjadi sorot media. Ia meraih prestasi ditingkat nasional maupun dunia.
Salah satunya saat ia duduk di bangku SMA Ragunan, Yon bergabung dengan
pelatnas Olimpiade Seoul Korea 1988. Turun di kelas 56 kilogram grup A, Yon
menempati urutan kedua belas dari tiga puluh tujuh peserta. Dalam persiapan
Olimpiade ini ia dilatih Waldemar Basanvsky dari Polandia selama dua tahun. Ia
mendapatkan pelajaran berupa metode snatch on the box—angkatan snatch dengan
kotak penyangga sehingga fokus terhadap teknik mengangkat barbel secepat
mungkin dari posisi lutut ke pangkal paha.Selain Basanvsky dia pula mendapatkan
metode latihan kemampuan power dari pelatih Cina, Huang.
***
Tahun ini merupakan tahun yang ia
nanti-nantiakan, sekalian tahun yang menyedihkan bagi Yon Haryono. Selama kurang
lebih satu tahun ia berlatih. Sungguh bersenang hati Yon menanti saat-saat ini
karena ia akan mengikuti Pekan PON 1993. Ia kali ini mewakilkan Lampung. Ia mengikuti PON 1993 di kelas 59 kilogram.
Kali ini panggilan Yon untuk berkonsentrasi
mengangkat barbel seberat 110 kilogram untuk memperoleh emas buat Lampung.
Kuda-kuda kakinya kokoh. Kedua tangannya dilebarkan memegang kencang besi
barbel. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia memulai angkatannya. Tak lama kemudian
terdengar “kreeek”. Tulang siku kirinya lepas. Pegangan kuat pun terlepas.
Barbel menghantam lantai. Penonton heran. Yon hampir pingsan. “penglihatanku
gelap,” ujarnya mengenang. Cidera yang dderitanya kambuh--tahun 1991, Ia cidera
saat mengikuti kejurnas senior. Ia gagal menyumbangkan medali bagi Lampung. Akhirnya
Yon bersama Imron Rosadi, pelatihnya memutuskan pulang ke Pringsewu, Lampung.
Dia sangat sedih saat itu. “Pertandingan
paling nyedihin, kalo kemaren saya enggak terkilir saya pasti dapat medali,”katanya mengenang. Yon
merasakan keseimbangan yang ia lakukan kurang pas. Hasilnya Erwin Abdullah
perwakilan Sulawesi Selatan meraih Emas. Julkar Nain perwakilan Jawa Barat
mendapat perak. Dan perunggu diraih Topik Hidayat dari Lampung.
Sesampainya ia di tempat tanah kelahirannya,
Yon memutuskan tidak menjadi atlet angkat besi, namun ia melatih anak-anak
Pringsewu supaya mengikuti jejaknya sebagai lifter.
94 Juni 1994, Yon mempersunting Yati
tetangganya. Perempuan itu kelahiran Sukoharjo, Pringsewu, 10 Desember 1974.
Mereka kini dianugerahi tiga orang anak yaitu Yolanda Haryono (26/06/1995),
Yordan Haryono (98/02/2011), dan Yosefi Surya Haryono (19/02/2006).
Yati selalu mendukung kegiatan Yon. Ia
menganggap atlet didikan Yon sebagai sahabatnya, mereka sering bercandaan. Kalo
urusan kenapa atlet jarang masuk atau kurang semangat latihan, Yati sering
disuruh suaminya mendatangi rumah atlet didikannya. Yati mengaku, “Seneng kalo liat mereka latihan, sering
bercanada-candaan, hepi aja”.
Ibu rumah tangga ini merasa bahagia bersama
Yon. “Suami saya itu engggak senang
terikat, dia suka berwiraswasta,”ujarnya. Menurut istrinya, Yon tidak ingin menjadi
PNS, Ia tidak ingin diatur orang lain. Sejak 1999 Ia memiliki pabrik padi di
desa Bumi Mas, Batang Hari, Lampung Timur dan panglong, terima pesan semacam daun
pintu, jendela, kusen di Pringsewu.
***
Ayo, angkat lagi... ayo, terus-terus...
sedikit lagi... yak....
Kayaknya setelah pulang dari Kejurnas kemarin,
semgamat bertambah, ya....
Terlihat senyum melebar dari salah satu atlet
didikan Yon Haryono setelah berhasil mengangkat barbel seberat kurang lebih 120
kilogram dan mendapatkan pujian langsung dari pelatihnya.
Sore itu, Senin (5/3) Yon dan Rio Setiawan
sedang melatih anak-anak Tejo Agung, Metro dan sekitarnya. Anak-anak didikannya
terakhir mengikuti Kejurnas Remaja Junior 2010 di Jakarta mewakili Lampung.
Mereka adalah Joni Susanto (13), Harjianto (16), Deni Kurniawan (12), Rangga
Bagas Pratama (11), dan lain-lain.
Kini Yon dan anak-anak didikannya telah
menempati sasana latihan mereka yang baru. Tempatnya tak jauh dari sasananya
yang lama di Tejosari. Ukurannya pun sudah lebih besar, delapan kali enam belas
meter, berdindingan beton, beratap genteng, lantai semen, dan sarana dan
prasarana yang memadai.
Hasil buah kerja keras Yon membuahkan hasil,
mereka mendapatkan bantuan dari Kick Andy Hope dan sponsor tunggal eksta jos
buat membangun gedung. Seperti sepatu, ikat pinggang, barbel telah mereka
miliki. Gedung mereka kini sering mereka sebut PABBSI Komet (Kota Metro).
Menurut Rio, “Pak yon itu sabar, enggak
pernah marah dengan atletnya, enggak pernah maksain juga”. Tiap kali
atlet didikan yon merasa sulit mengangkat beban ia selalu mengajarkan mereka
teknik-tekniknya. Setiap anak didiknya ada kesulit ia dengan senang hati
membantu. ”Mau atletnya diturutin, dia bikin senang, enggak ada beban,” ujar Rio. Ia selelu memperhitungkan tenaga yang
di keluarkan tipa atletnya. “seminggu sekalibiasanya kami di gaji, untuk pemula
biasanya lima ribu terus naik sampai ia sanggup menggangkat barbel lebih berat,
uang jatahnya pun akan bertambah,” ujar salah satu atletnya.
“Jadi gini, kami itu dapat juga biaya dari
pemerintah tiap tahunnya lima juta rupiah,” ujara Yon menjelaskan. Dengan uang
itulah dan ditambah uang sakunya. Ia berusaha memenuhi gizi anak didiknya.
Anak didiknya pun bangga kepadanya. Salah
satunya Harjianto berkata,”Luar biasa, ditengah kesibukannya mencari nafkah, ia
masih menyempatkan melatih kami”.
“Saya ngelakuin ini semata-matakarena hobi,
kalo enggak hobi pasti saya udah tinggalkan aktivitas melatih angkat besi,”
ujar Yon. Ia pun menjelaskan alasan mengapa ia memilih desa Tejosari sebagai
tempat latihan angkat besi. Menurutnya cikal bakal dan punya kemauan terhadap
olahraga angkat besi ada di tejosari. Salah satunya dukungan dari waraga
disana.
Dibuktikan dukungan warga setempat atas
pendirian sasana saat syukuran padepokan yang baru, Jumat sore (3/3) dihadiri
oleh kurang lebih empat puluh orang beserta kepala RT. Suparno (58) dan
istrinya Suka Tinah (57) salah satu warga sekalian penjaga gedung yang baru
berkata, “Kalo enggak ada dia (Yon
Haryono), enggak jadi atlet, enggak
ada dia juga kami enggak bisa umtroh
dan haji”. Mereka sangat berterima kasih
kepada Yon karena anak mereka Tri Yatno
telah menjadi atlet terkenal di manca negara. Tercatat Tri Yatno merupakan
lifter terbaik nomorsatu di Asia dan urutan ketiga lifter terbaik dunia.
Tercatat anak didik Yon Haryono mulai 2000
sampai sekarang kurang lebih telah mnyumbangkan tiga puluh empat medali emas
untuk kontingen Indonesia dalam kejuaraan sea games, asia games, olimpiade, dan
keuaraan dunia lainnya.
Walidin Sudiro Wisodo (50) Salah satu tetangga
Yon. Ia dan tetanga lain tidak mempersetujui kalo disamping rumahnya di Ganjar
Agung 14.2 dibuka tempat sasana latihan. Dulu Yon pernah membuka latihan di
gerasi rumahnya. Namun warga kurang setuju. Karena suara barbel dan alat-alat
latihan angkat besi membuat bising. Akhirnya Yon membubarkan latihannya. “Dulu
warag sini, memang pernah komlen masalah latihan, harus ada tempat khusus yang
ada peredam suaranya biar enggak ganggu tetangga lai, “ harapnya.
Oleh Aprohan Saputra
No comments:
Post a Comment